Barangin Adat & Budaya Minangkabau.
Ada yang menarik di orang Minang ini. Menggelari atau menyebut orang “barangin”, arti yang ditawarkannya bisa membuat kita mengangguk (kalau memang dia barangin), tersenyum simpul (kalau ungkapan itu sindiran gurau) atau kita sendiri yang dikatakan “barangin” dan mendengarnya malah cengengesan, sembari mengumpat, “Kurang ajar!”Barangin ternyata sama dengan kurang waras, tidak bisa jadi pegangan, suka asyik dengan diri dan pikiran sendiri. Barangin boleh juga sebutan orang yang nekat (Hati-hati, dia barangin itu…) Suka diasung. Ada pula orang, kalau ada temannya yang tidak punya rasa malu, tidak pernah pakai etika di mana pun dia ada, maka enak saja dibilang, “dia barangin”. Kalau ada yang marah, maka akan ada pula yang menyela, “Biar sajalah, dia barangin…. Kalau marah kita ke dia, kita pula yang barangin namanya….”
Orang-orang yang mendapatkan sebutan barangin, secara tidak langsung, tindakan mereka mendapatkan permakluman. Tetapi, tentu ada pula yang tidak. Gelar barangin, kadang panggilan “sayang” komunitas atau kelompok tertentu terhadap temannya, mungkin, disebabkan sensasi yang pernah ekstrem dilakukannya. Tidak semua panggilan barangin untuk peremehan atau pemastian identitas seseorang. Dalam kehidupan bermasyarakat, pada lingkungan tertentu, umumnya ada yang orang, apakah disadari atau tidak, dikatakan barangin untuk senda gurau.
Orang kita ini kadang terlalu kreatif, kalau tak mungkin dikatakan suka memberi “gelar” buruk sebagai olok-olok di tengah masyarakat. Kalau ada tetangganya yang suka menyalakan tape keras-keras di waktu pagi, tak bisa dimohonkan agar dipelankan karena mengganggu, maka bisa saja kita bilang “dia barangin”.
Kenapa barangin? Orang tak waraslah yang tidak paham hidup saling menjaga kenyamanan sebelah menyebelah atau bertetangga. Begitu juga, kalau ada bos yang suka marah-marah, suka mengatakan ke orang gaji anak buahnya besar dan sejahtera, sering menyebut ke orang lain atau dalam ceramahnya bahwa karyawan adalah aset berharga, padahal orang tahu gaji di tempatnya kecil mencekik, persentase terbesar yang bergaji di bawah upah minimum lebih dari 50 persen, maka sang bos dikatakan oleh anak buahnya “barangin”. Ngomong seenak “anginnya” (kentut) saja. Orang barangin tidak malu membayar orang rendah walau pemasukkannya besar dan berkata omong besar. Kalau diteruskan, apa saja yang bisa dikaitkan dengan “barangin”, tentulah teramat banyak.
Jangan-jangan, kita pun sudah “barangin”, karena hanya terpaku pada kata “barangin”. Tapi, yang jelas, kalau ada orang gila lewat di depan kita dibilang barangin, itu biasa. Cuma, kalau ada orang membiarkan kita melakukan apa saja, dilarang pun tidak, didukung pun tidak, mereka memandang kita dengan sorot mata yang aneh, cepat-cepatlah koreksi diri, jangan-jangan kita sedang digumamkan mereka sebagai “barangin”.
Barangin kalau diindonesiakan, sama artinya berangin, memiliki angin. Tetapi dalam bahasa Minang tidak bisa selugu itu kita terjemahkan. Barangin itu, kadang dipahami lantaran ada yang bocor. Nah, lantaran itu ada pula orang menyebut boco aluih (bocor halus). Yang bocor, tentulah yang berangin. Dia berangin karena ada yang bocor. Orang Minang, ketika menyebut orang barangin atau boco aluih, maksudnya pada jiwa atau otaknya, ada yang kempes. Jadi tidak berpikir normal lagi. Gangguan jiwa. Gangguan perilaku. Gangguan diri yang membuat semua terlihat tak normal.
Menjelang pemilu 2009 ini, saking begitu banyak caleg, ribuan gambar mereka terpajang di mana-mana, pertanyaannya kemudian adalah, siapakah di antara mereka yang akan barangin nantinya? Atau, siapakah orang barangin yang bakal dipilih oleh rakyat, yang nantinya akan melahirkan kebijakan barangin. Tentu, semua bisa terjadi bisa juga tidak. Tapi, yang jelas, selagi ada angin, orang barangin akan tetap ada hehehe.
Bicara “barangin”, sesungguhnya bicara akal sehat. Sejauh mana, kita menuntut diri, agar memahami banyak hal dengan baik, untuk memberi ke banyak hal dengan baik lantaran ingin menerima banyak hala dengan baik pula. Karena, kata barangin, adalah kata yang memaksa kita sebenarnya, agar tidak mengalami kebocoran. Kalau bocor, angin akan berhembus, kadang bisa saja sejuk, tetapi, kebocoran yang buruk akan menimbulkan busuk seperti buang angin: kentut.***
REOG PONOROGO dan WAROK
Indotoplist.com : Reog adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari Jawa Timur bagian barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya. Gerbang kota Ponorogo dihiasi oleh sosok Warok dan Gemblak, dua sosok yang ikut tampil pada saat Reog dipertunjukkan. Reog adalah salah satu bukti budaya daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat.
Sejarah Reog Ponorogo
Pada dasarnya ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok, namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bra Kertabumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak rekan Cina rajanya dalam pemerintahan dan prilaku raja yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir.
Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan dimana ia mengajar anak-anak muda seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan lagi kerajaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.
Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa Barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya.
Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50kg hanya dengan menggunakan giginya.
Populernya Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer diantara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dimana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewondono, Dewi Songgolangit, and Sri Genthayu.
Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun ditengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan 'kerasukan' saat mementaskan tariannya.
Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai pewarisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.
Warok
Warok sampai sekarang masih mendapat tempat sebagai sesepuh di masyarakatnya. Kedekatannya dengan dunia spiritual sering membuat seorang warok dimintai nasehatnya atas sebagai pegangan spiritual ataupun ketentraman hidup. Seorang warok konon harus menguasai apa yang disebut Reh Kamusankan Sejati, jalan kemanusiaan yang sejati.
Warok adalah pasukan yang bersandar pada kebenaran dalam pertarungan antara kebaikan dan kejahatan dalam cerita kesenian reog. Warok Tua adalah tokoh pengayom, sedangkan Warok Muda adalah warok yang masih dalam taraf menuntut ilmu. Hingga saat ini, Warok dipersepsikan sebagai tokoh yang pemerannya harus memiliki kekuatan gaib tertentu. Bahkan tidak sedikit cerita buruk seputar kehidupan warok. Warok adalah sosok dengan stereotip: memakai kolor, berpakaian hitam-hitam, memiliki kesaktian dan gemblakan.Menurut sesepuh warok, Kasni Gunopati atau yang dikenal Mbah Wo Kucing, warok bukanlah seorang yang takabur karena kekuatan yang dimilikinya.
Warok adalah orang yang mempunyai tekad suci, siap memberikan tuntunan dan perlindungan tanpa pamrih. “Warok itu berasal dari kata wewarah. Warok adalah wong kang sugih wewarah. Artinya, seseorang menjadi warok karena mampu memberi petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang hidup yang baik”.“Warok iku wong kang wus purna saka sakabehing laku, lan wus menep ing rasa” (Warok adalah orang yang sudah sempurna dalam laku hidupnya, dan sampai pada pengendapan batin).
Syarat menjadi Warok
Warok harus menjalankan laku. “Syaratnya, tubuh harus bersih karena akan diisi. Warok harus bisa mengekang segala hawa nafsu, menahan lapar dan haus, juga tidak bersentuhan dengan perempuan. Persyaratan lainnya, seorang calon warok harus menyediakan seekor ayam jago, kain mori 2,5 meter, tikar pandan, dan selamatan bersama. Setelah itu, calon warok akan ditempa dengan berbagai ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Setelah dinyatakan menguasai ilmu tersebut, ia lalu dikukuhkan menjadi seorang warok sejati. Ia memperoleh senjata yang disebut kolor wasiat, serupa tali panjang berwarna putih, senjata andalan para warok.
Warok sejati pada masa sekarang hanya menjadi legenda yang tersisa. Beberapa kelompok warok di daerah-daerah tertentu masih ada yang memegang teguh budaya mereka dan masih dipandang sebagai seseorang yang dituakan dan disegani, bahkan kadang para pejabat pemerintah selalu meminta restunya.
Gemblakan
Selain segala persyaratan yang harus dijalani oleh para warok tersebut, selanjutnya muncul disebut dengan Gemblakan.Dahulu warok dikenal mempunyai banyak gemblak, yaitu lelaki belasan tahun usia 12-15 tahun berparas tampan dan terawat yang dipelihara sebagai kelangenan, yang kadang lebih disayangi ketimbang istri dan anaknya. Memelihara gemblak adalah tradisi yang telah berakar kuat pada komunitas seniman reog. Bagi seorang warok hal tersebut adalah hal yang wajar dan diterima masyarakat. Konon sesama warok pernah beradu kesaktian untuk memperebutkan seorang gemblak idaman dan selain itu kadang terjadi pinjam meminjam gemblak.
Biaya yang dikeluarkan warok untuk seorang gemblak tidak murah. Bila gemblak bersekolah maka warok yang memeliharanya harus membiayai keperluan sekolahnya di samping memberinya makan dan tempat tinggal. Sedangkan jika gemblak tidak bersekolah maka setiap tahun warok memberikannya seekor sapi.Dalam tradisi yang dibawa oleh Ki Ageng Suryongalam, kesaktian bisa diperoleh bila seorang warok rela tidak berhubungan seksual dengan perempuan. Hal itu konon merupakan sebuah keharusan yang berasal dari perintah sang guru untuk memperoleh kesaktian.
Kewajiban setiap warok untuk memelihara gemblak dipercaya agar bisa mempertahankan kesaktiannya. Selain itu ada kepercayaan kuat di kalangan warok, hubungan intim dengan perempuan biarpun dengan istri sendiri, bisa melunturkan seluruh kesaktian warok. Saling mengasihi, menyayangi dan berusaha menyenangkan merupakan ciri khas hubungan khusus antara gemblak dan waroknya. Praktik gemblakan di kalangan warok, diidentifikasi sebagai praktik homoseksual karena warok tak boleh mengumbar hawa nafsu kepada perempuan.
Saat ini memang sudah terjadi pergeseran dalam hubungannya dengan gemblakan. Di masa sekarang gemblak sulit ditemui. Tradisi memelihara gemblak, kini semakin luntur. Gemblak yang dahulu biasa berperan sebagai penari jatilan (kuda lumping), kini perannya digantikan oleh remaja putri. Padahal dahulu kesenian ini ditampilkan tanpa seorang wanita pun.
Reog di masa sekarang
Seniman Reog Ponorogo lulusan sekolah-sekolah seni turut memberikan sentuhan pada perkembangan tari reog ponorogo. Mahasiswa sekolah seni memperkenalkan estetika seni panggung dan gerakan-gerakan koreografis, maka jadilah reog ponorogo dengan format festival seperti sekarang. Ada alur cerita, urut-urutan siapa yang tampil lebih dulu, yaitu Warok, kemudian jatilan, Bujangganong, Klana Sewandana, barulah Barongan atau Dadak Merak di bagian akhir. Saat salah satu unsur tersebut beraksi, unsur lain ikut bergerak atau menari meski tidak menonjol.
Beberapa tahun yang lalu Yayasan Reog Ponorogo memprakarsai berdirinya Paguyuban Reog Nusantara yang anggotanya terdiri atas grup-grup reog dari berbagai daerah di Indonesia yang pernah ambil bagian dalam Festival Reog Nasional. Reog ponorogo menjadi sangat terbuka akan pengayaan dan perubahan ragam geraknya.
0 komentar:
Posting Komentar